JAMBI.MPN – Hamdi Zakaria, A.Md aktivis pemerhati lingkungan Provinsi Jambi, yang notabene juga sebagai Kaperwil media Patroli86.com Provinsi Jambi, kembali soroti pembangunan yang didanai dari Dana Desa.
Kali ini yang menjadi sorotan Desa yang ada di Kecamatan Jaluko.
Menurut Hamdi Zakaria kepada media mengatakan, Inspektorat Muaro Jambi, sebagai APIP Kabupaten, khususnya Irban 1 merupakan tim yang diturunkan untuk auditor pengawasan desa-desa yang ada di Kecamatan Jaluko.
Irban 1 wajib membawa tenaga ahli tehnick dalam auditor. Saat audit pun, jangan hanya mengaudit administrasinya saja, akan tetapi juga wajib turun lokasi titik pekerjaan, ungkap Hamdi.
Misalnya saja, ada desa yang setiap tahun anggaran, hampir 5 tahun selalu menganggarkan peningkatan JUT pada lokasi yang sama, ini terpantau diduga didaerah Jaluko sebrang, tim ahli wajib ukur keseluruhan panjang jalan, dan berapa volume panjang yang diadakan pengerasan nya.
Begitu juga dugaan Mark up pada RAB pekerjaan. Mengingat tenaga ahli pendamping, membuat suatu RAB memakai standar rumus PUPR no 28 tahun 2016, yang sudah pasti dianggarkan dana anggaran diatas realisasinya. Berarti suatu kepastian ada dugaan sisa anggaran yang menjadi calon Silpa fisik. Rumus ini biasanya dipakai untuk pembuatan RAB jalan beton dan gedung, kata Hamdi Zakaria.
Pada tahun 2018 lalu, Hamdi Zakaria aktivis pemerhati lingkungan ini, pernah membuat laporan kepada APIP kabupaten terkait penggunaan DD dalam dugaan Mark up di 7 desa yang ada di Jaluko.
Menurut Hamdi, ini merupakan rambu-rambu atau semacam rem, terhadap desa dengan tujuan agar bisa memperkecil ruang gerak untuk dikorupsi, katanya.
Hamdi Zakaria menjelaskan, dari pantauan ada tujuh dugaan bentuk korupsi tersebut menunjukkan terdapat lima titik rawan dugaan korupsi dalam proses pengelolaan dana desa. Lima titik rawan tersebut adalah pada: 1. proses perencanaan; 2. proses pertanggungjawaban; 3. proses monitoring dan evaluasi; 4. proses pelaksanaan; dan 5. proses pengadaan baranng dan jasa dalam hal penyaluran dan pengelolaan dana desa.
Sedangkan modus dugaan korupsi dana yang berhasil terpantau antara lain
1. Membuat Rancangan Anggaran Biaya di atas harga pasar.
2. Mempertanggungjawabkan pembiayaan bangunan fisik dengan dana desa padahal proyek tersebut bersumber dari sumber lain.
3. Meminjam sementara dana desa untuk kepentingan pribadi namun tidak dikembalikan.
4. Pungutan atau Pemotongan dana desa oleh oknum pejabat kecamatan atau kabupaten.
5. Membuat perjalanan dinas fiktif kepala desa atau jajarannya.
6. Pengelembungan (Mark Up) pembayaran honorarium perangkat desa.
7. Pengelembungan (Mark Up) pembayaran Alat tulis kantor.
8. Memungut pajak atau retribusi desa namun hasil pungutan tidak disetorkan ke kas desa atau kantor pajak.
9. Pembelian inventaris kantor dengan dana desa namun diperuntukkan secara pribadi.
10. Pemangkasan anggaran publik kemudian dialokasikan untuk kepentingan perangkat desa.
11. Melakukan permainan (Kongkalingkong) dalam proyek yang didanai dana desa.
12. Membuat kegiatan atau proyek fiktif yang dananya dibebankan dari dana desa.
Faktor penyebab dugaan korupsi dana desa beragam. Faktor paling mendasar adalah kurang dilibatkannya masyarakat dalam proses perencanaan dan pengawasan dana desa. Akses masyarakat untuk mendapatkan informasi pengelolaan dana desa dan terlibat aktif dalam perencanaan dan pengelolaan pada praktiknya banyak dibatasi. Padahal, pasal 68 UU Desa telah mengatur hak dan kewajiban masyarakat desa untuk mendapatkan akses dan dilibatkan dalam pembangunan desa. Pelibatan masyarakat ini menjadi faktor paling dasar karena masyarakat desa lah yang mengetahui kebutuhan desa dan secara langsung menyaksikan bagaimana pembangunan di desa.
Faktor kedua adalah terbatasnya kompetensi kepala desa dan perangkat desa. Keterbatasan ini khususnya mengenai teknis pengelolaan dana desa, pengadaan barang dan jasa, dan penyusunan pertanggungjawaban keuangan desa.
Faktor ketiga adalah tidak optimalnya lembaga-lembaga desa yang baik secara langsung maupun tidak memainkan peran penting dalam pemberdayaan masyarakat dan demokrasi tingkat desa, seperti Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan lainnya.
Faktor keempat yang tidak kalah penting untuk diperhatikan adalah penyakit cost politik tinggi akibat kompetitifnya arena pemilihan kepala desa. Meningkatnya anggaran desa disertai dengan meningkatnya minat banyak pihak untuk maju dalam pemilihan kepala desa tanpa agenda dan komitmen membangun desa.
Selain hasil pemantauan ICW, data dari pihak Kementerian Desa dan KPK pun semakin menunjukkan bagaimana maraknya penyalahgunaan dana desa. Kementerian Desa telah menerima 200 laporan pelanggaran administrasi dari 600 laporan tentang dugaan penyelewengan dana desa. Sebanyak 60 laporan penyelewengan dana desa telah diserahkan kepada KPK.
Hamdi juga berharap semua terlibat dalam mencegah Perluasan Korupsi Dana Desa.
Meningkatnya korupsi dana desa harus dijawab dengan mencari solusi dari empat faktor korupsi desa diatas. Jika tidak, korupsi desa akan semakin meningkat dan mengganggu agenda membangun dari desa serta mensejahterakan masyarakat desa. Anggaran dana desa yang meningkat setiap tahunnya dikhawatirkan tidak banyak mengubah problem desa apabila korupsi desa tidak ditindak serius. Padahal, kebijakan penyaluran anggaran ke desa merupakan kebijakan yang patut diapresiasi.
Agar korupsi desa tidak berlanjut dan cita-cita yang melatarbelakangi semangat desentralisasi kewenangan dan anggaran ke desa dapat dicapai, perlu dilakukan tiga hal, yaitu kata Hamdi, Pertama, upaya pencegahan melalui penguatan fungsi pengawasan formal dan non formal. Peran serta masyarakat adalah pengawasan yang diyakini paling efektif sehingga penting dijamin implementasinya. Dalam hal ini, komitmen pemerintah desa dalam membuka akses informasi dan ruang keterlibatan masyarakat penting dilakukan. Kedua, BPD perlu lebih maksimal dalam menyerap aspirasi dan mengajak masyarakat aktif terlibat dalam pembangunan desa, dari pemetaan kebutuhan desa, perencanaan, pengelolaan, hingga pertanggungjawaban. Bahkan, peran masyarakat juga penting dalam ruang elektoral desa.
Selain pengawasan masyarakat, pengawasan formal perlu dioptimalkan. Kementerian Desa telah membentuk Satuan Tugas Dana Desa yang bisa memaksimalkan pengawasan serta memberikan pelatihan bagi pendamping dan Kepala Desa. Hal lain adalah pentingnya bagi Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri) untuk memperkuat kapasitas perangkat desa. Hingga saat ini, upaya tersebut belum terang terlihat. Padahal pengelolaan anggaran desa utamanya dengan kehadiran dana desa yang teramat besar mesti ditunjang dengan kualitas sumber daya manusia yang baik. Tidak menutup kemungkinan korupsi marak terjadi akibat ketidaktahuan atau ketidakmampuan perangkat desa dalam mengelola anggaran. Oleh sebab itu jika penguatan kapasitas tidak dilakukan maka penyelewengan akan terus terjadi.
Pada sisi lain perlu dibentuk inisiatif bersama antara pemerintah dan masyarakat sipil untuk mensinergikan inisiatif maupun inovasi yang telah lahir untuk mengawal dana desa. Sejauh ini, telah lahir pelbagai inovasi seperti contohnya Open Data Keuangan Desa. Inisiatif tersebut dapat memberikan sumbangsih penting bagi perbaikan tata kelola desa sekaligus mencegah korupsi.
Kedua, upaya penindakan dan pemberian efek jera. Peran aparat penegak hukum menjadi penting, kejadian seperti di Pamekasan tidak boleh terulang kembali. Perlu ada koordinasi yang baik antara Kejaksaan, Kepolisian, dan KPK. Tentu lembaga seperti KPK tidak bisa diberikan beban tanggungjawab yang begitu besar untuk mengawasi setiap alokasi dana desa di seluruh Indonesia. Hal ini mengingat ketersediaan Sumber Daya Manusia (SDM) KPK yang tergolong minim, sehingga mustahil apabila diharuskan untuk mengawasi seluruh desa di Indonesia. Justru Kejaksaan dan Kepolisian bisa ambil peran untuk memastikan tidak ada pelanggaran hukum dalam pengalokasian dana desa serta implementasinya di daerah.
Sebagai pemberian efek jera untuk pelaku, selain proses pidana maka sebaiknya pemerintah (daerah) melakukan pemecatan atau pemberhentian bagi Kepala Desa atau Perangkat Desa yang terbukti melakukan praktek korupsi. Pemecatan juga sebaiknya dilakukan terhadap Lurah atau Camat yang melakukan pungutan liar atau pemotongan penyaluran anggaran dana desa ke Kepala Desa.
Ketiga, pemerintah perlu melakukan evaluasi dan perbaikan secara menyeluruh terkait penyaluran dan pengelolaan dana desa. Evaluasi ini menjadi penting agar kejadian-kejadian seperti di Kabupaten Pamekasan tidak terulang kembali. Sebaiknya Pemerintah menindaklanjuti rekomendasi dari KPK agar proses pengelolaan dana desa diubah sistemnya agar lebih sederhana dan tidak tumpang tindih.
Berdasarkan regulasi yang ada, saat ini ada tiga Kementerian yang mengurusi dana desa. Kementerian Dalam Negeri melakukan pembinaan dan pengawasan pengelolaan keuangan desa. Sedangkan penyaluran dana desa oleh Kementerian Keuangan. Penggunaannya oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi. Ketika dana desa tersebut dikorupsi maka tidak ada pihak yang bertanggung jawab dari hulu ke hilir, tutup Hamdi Zakaria aktivis lingkungan di Provinsi Jambi ini.
(Tim)